Sabtu, 09 Mei 2015

Rahasia di Balik Eksotika Tana Toraja

Oleh Wiyanto Suud



Dalam bahasa Bugis, “Toraja” berarti “Orang yang berdiam di negeri atas”. Dan memang, mereka mendiami daerah pegunungan, dan mempertahankan gaya hidup yang khas, seperti gaya hidup Austronesia yang asli, mirip dengan budaya Nias. 

Jenazah nenek moyang mereka disemayamkan di atas tebing-tebing bukit yang curam. Sehingga tak mengherankan, kalau obyek wisata yang paling utama di daerah ini adalah makam kuno yang berusia ratusan tahun. Bahkan, beberapa situs di Toraja diusulkan menjadi situs warisan dunia. Sejak tahun 1984, Kementerian Pariwisata mempromosikan Tana Toraja sebagai pemberhentian kedua setelah Bali.  

Melancong ke Tana Toraja bak memasuki dua zaman, purba dan modern. Di tengah pertumbuhan teknologi yang sedemikian canggih, tradisi nenek moyang mereka masih tumbuh subur di tengah masyarakat. Meski mayoritas masyarakatnya memeluk agama Kristen, tapi mereka mampu memadukannya dengan kepercayaan animisme Aluk To Dalo.  

Meski bisa diakses dengan pesawat Cessna hanya dengan 45 menit dari Bali atau Makasar, perjalanan ke Tana Toraja akan lebih mengasyikkan kalau ditempuh dengan jalur darat. Hampir setiap jam, ada bus umum melintas dari Makasar ke Tana Toraja, dengan waktu tempuh sekitar 8 jam. Kalau ingin lebih nyaman, banyak tersedia mobil rental yang didominasi milik mantan wakil presiden Jusuf Kalla. 

Agak capek memang. Tapi, rasa capek itu akan terbayar dengan Pemandangan indah yang tersaji di sepanjang Pangkep, Barru, dan Pare Pare. Pemandangan yang memadukan antara keindahan pantai dan hutan tropis. Setelah sampai di Enrekang, Anda wajib istirahat di gunung Bambupuang atau Gunung Nona, yang dikenal dengan nama Erotic Mountain. Bentuknya menyerupai alat vital wanita, yang terbentuk karena erosi. 

Di samping itu, Anda juga bisa berwisata kuliner. Ada roti khas dari Maros, soup Saudara, coto Makasar, dan es pisang Hijau. Ketika beristirahat di Pare Pare, Anda bisa menyantap ikan bakar Baronang, lengkap dengan sambal petisnya. Di sepanjang jalan Sidrap dan Enrekang, Anda akan menemukan penjaja buah durian dan beraneka buah lainnya dengan harga miring. 

Ketika memasuki Toraja, aura mistis mulai terasa. Aura itu perlahan sirna saat memasuki Makale, pusat pemerintahan kabupaten Tana Toraja. Ciri khas Makale adalah kolam dan Patung Toraja Bersatu yang terletak di tengah kota. Di atas bukit seberang kolam, bertengger Masjid mungil dan gereja berdiri berdampingan. Simbol kerukunan antar umat beragama di Tana Toraja. Meski masakan di sana banyak didominasi babi, Anda akan dengan mudah menemukan restoran berlabel “halal”—khusus bagi kaum muslim. 

Rahasia eksotika Tana Toraja terletak pada pesona alam, makam kuno, dan budayanya. Pertama-tama, berziarahlah ke Londa, yang terletak di desa Sandan Uai, Sanggalangi, sekitar 5 km ke arah selatan dari Rantepao. Dari jalan raya tidak terlalu jauh, jalannya cukup bagus dan tidak terjal. Hanya jalannya sempit, jika berpapasan dengan kendaraan roda empat, salah satunya harus mengalah. 

Untuk sampai ke kuburan ini, Anda harus menuruni anak tangga sekitar 100 meter. Beberapa orang akan menawarkan jasa lampu sebagai penerang saat di dalam gua. Harga satu lampu Rp. 20 ribu, itu belum termasuk jasa pembawa lampu yang merangkap tour guide.  

Di atas tebing gua, ada puluhan replikasi patung orang yang meninggal dunia. Penduduk pribumi menyebutnya dengan tau-tau. Sedangkan peti jenazahnya berada di bagian dalam, di belakang tau-tau, terselip di celah tebing gua yang terjal. Seorang guide yang bersamaku menyebutnya dengan erong. Semakin tinggi peti matinya berarti semakin tinggi pula derajat kebangsawanannya. Bisa dikatakan, stratifikasi kasta pun terbawa sampai mati.  

Saat di dalam gua, banyak peti jenazah berserakan. Jenazah yang disemayamkan di gua bagian bawah ini merupakan golongan rakyat biasa. Peti jenazah dikumpulkan berdasarkan keluarga. Konon, jenazah yang berada di Londa ini berusia 500 tahunan. Ada juga sepasang tengkorak yang konon mati bunuh diri, karena percintaan mereka tidak mendapat restu orang tua. Ya, semacam Romeo dan Juliet versi Tana Toraja.  

Sebenarnya, ada dua mulut gua di Londa. Satu sama lainnya dihubungkan terowongan kecil, yang bisa dilalui dengan merangkak. Ketika ditawari untuk masuki terowongan, kami merasa bergidik. Nuansa mistisnya saja sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri, apalagi memasuki terowongan yang hanya bisa dilalui dengan merangkak. Kami pun memutar, masuk dari sisi lainnya.  

Kemudian, Anda bisa berkunjung ke Palawa dan Ke’te Kesu. Tongkonan Pallawa dan Ke’te Kesu sangat populer di Rantepao—ibu kota Kabupaten Toraja Utara. Rumah adat Tongkonan Pallawa ini berada di antara pohon-pohon bambu di puncak bukit. Tongkonan tersebut didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang ditancapkan di bagian depan rumah. Terletak sekitar 12 km ke arah Utara dari Rantepao. 

Sedangkan Ke’te Kesu merupakan obyek yang memesona berupa Tongkonan, lumbung padi, dan bangunan megalith di sekitarnya. Desa Ke’te Kesu terletak di kecamatan Kesu, sekitar 4 km di sebelah Timur Laut Rantepao. Perkampungan ini juga dikenal dengan keahlian seni ukir yang dimiliki oleh penduduknya, sekaligus sebagai tempat yang bagus untuk berbelanja suvenir.  

Ketiga tempat tersebut sudah cukup untuk mewakili pesona ekstotika Tana Toraja. Kalau masih punya cukup waktu, Anda juga bisa mengunjungi tempat-tempat lainnya. Di antaranya, Lokomata, Sa’dan, Marante, Mendoe, Buntao, Karasik, Buntu Pune, Palatokke, La’bo, Randanbatu, Batu Tumonga, Lemo, serta kawasan pegunungan di Utara. 

Ada beberapa suvenir yang ditawarkan, mulai dari kain tenun, parang dengan berbagai ukuran, replika rumah adat Tana Toraja (Tongkonan), dan gantungan kunci dengan beberapa ukiran khas Tana Toraja. Nyaris bisa ditemukan di tiap obyek kunjungan, dan tak jauh berbeda. 

Kain tenun Toraja dapat dikenali dari motif, warna, dan tekstur kainnya. Motif yang sering dibuat adalah motif garis-garis vertikal, burung, dan bunga. Sedangkan warna yang digunakan biasanya warna-warna gelap seperti hitam, cokelat, biru tua, dan merah. Tekstur kainnya ada yang halus dan ada juga yang agak kasar. 

Ketika berkunjung tahun 2005 lalu, aku sempat membeli kain kebaya lengkap dengan songketnya untuk ibu di rumah. Plus parang dengan berbagai ukuran, dari panjang setengah meter, 30 senti meter, 20 sentimeter, dan 10 sentimeter. Gagangnya terbuat dari tanduk kerbau yang berenda ukiran, yang khusus kupesan ke pandai besinya.  

Sampai saat ini, parang tersebut sering dipinjam tetangga untuk menyembelih hewan korban pada perayaan hari raya Idul Adha. Secara fungsional, tidak jauh berbeda dengan pemotongan kerbau waktu upacara pemakaman di Tana Toraja.

***

Upacara Pemakaman

Bagi suku Toraja, upacara pemakan itu lebih penting dan lebih meriah daripada upacara perkawinan. Kalau di Bali dikenal dengan istilah Ngaben, di Sumatera Utara disebut Sarimatua, di Tana Toraja ini ada upacara Rambu Solo’. Biasanya, upacara berlangsung selama beberapa hari, bahkan sampai dua Minggu untuk kalangan bangsawan. Ritual ini juga banyak menyedot perhatian wisatawan, baik domestik maupun manca negara.

Semakin berkuasa seseorang, semakin banyak pula kerbau yang disembelih. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi.
Sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di tempat tinggi. Tak jarang, jenazah disimpan selama bertahun-tahun di Tongkonan, sampai keluarga mampu menyiapkan hewan kurban. Bagi masyarakat Toraja, sebelum ada upacara Rambu Solo’, maka orang yang meninggal hanya dianggap sebagai orang sakit. Oleh karena itu, mereka merawat dan memperlakukannya layaknya masih hidup.

Dalam upacara Rambu Solo’, pertama-tama, jenazah dipindahkan dari rumah duka ke Tongkonan Tammuon, yaitu Tongkonan di mana ia berasal. Hari berikutnya, jenazah dipindahkan lagi ke Tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu Tongkonan Barebatu. Selanjutnya, jenazah diusung menuju Rante—lapangan tempat upacara berlangsung. Biasanya dilakukan setelah kebaktian dan makan siang.

Kemudian, jenazah diletakkan di Lakkien (menara persemayaman jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di Rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas Lakkien, sebelum nantinya akan dikubur.

Acara selanjutnya adalah penerimaan tamu. Ketika sore menjelang, para keluarga dan tamu undangan yang datang dihibur dengan ma’pasilaga tedong atau adu kerbau. Selama beberapa hari ke depan, penerimaan tamu dan adu kerbau menjadi agenda tetap, sampai tamu dan saudara dari pelosok negeri datang semua. Adu kerbau merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu selama upacara Rambu Solo’.

Di samping itu, upacara itu selalu diiringi dengan tari-tarian. Pada hari pertama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum. Tarian ini disebut dengan Ma’badong. Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.

Pada hari kedua, beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma’randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju Rante, tempat upacara pemakaman.

Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma’katia, sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma’akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma’dondan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar