Oleh Wiyanto Suud
Kalau burung gagak tahu bahwa dirinya buruk, ia akan meleleh seperti salju karena sedih (Jalaluddin Rumi)
Kalau burung gagak tahu bahwa dirinya buruk, ia akan meleleh seperti salju karena sedih (Jalaluddin Rumi)
Libur catur wulan kedua (cawu II) di
awal tahun 2002, membawaku ke pedalaman kampung halaman sahabatku. Perjalananku
dari bukit pegunungan (Massenrenpulu) Enrekang Sulawesi Selatan, menuju Tugu
Api Abadi di bumi Tabalong Kalimantan Selatan, setidaknya memakan waktu sehari
semalam, 1 x 24 jam.
Perjalanan melewati Polmas (Polewali
Mamasa), Majene, Mamuju—yang sekarang menjadi Sulawesi Barat dalam pemekaran
provinsi di era Pemerintahan Megawati—layaknya melalui jalur Pantura, mulai
dari Semarang, Tuban, dan Lamongan di pulau Jawa. Kita akan disuguhi dengan
pemandangan tepi pantai sepanjang kanan-kiri jalan.
Dari Mamuju, aku harus menaiki kapal
Ferry penyeberangan menuju Balikpapan—yang sebenarnya kapal angkutan barang
tapi sekaligus dijadikan kapal penumpang—dasar Indonesia. Berlayar di tengah
samudra di malam hari, seperti berjalan tak berujung tepi. Berada di tengah
kegelapan, hanya ditemani lentera lampu bahtera dan deru suara
ombak—berbenturan dengan tubuh kapal, seperti menghantam karang. Dua belas
jam—dari jam 18.00 – 06.00—di tengah lautan sudah cukup mengajarkanku tentang
arti sepi, makna cahaya, rasa bosan, dan harapan akan kegelapan.
Dari Balikpapan
aku naik speed boat selama 15 menit ke Panajem, di sinilah aku mulai
menempuh jalur darat menuju Tabalong. Temanku asyik ngobrol dengan penumpang
lain dalam bahasa Banjar, aku yang nggak ngerti hanya terdiam, tapi ketika ia
memerkenankanku dari Jawa, dia mulai menggerutu. Aku tanya apa maksudnya,
ternyata ada satu guyonan yang masyhur di Kalimantan tentang logat dan dialek
Jawa yang kumiliki. Di Jawa kita banyak menemukan huruf o dalam percakapan dan
penggunaan nama, seperti opo, lapo, Soekarno, Soeharto, dan Krocok di muho. Aku
mengerutkan dahi dengan kata yang terakhir, apa maksudnya. Kata temanku,
artinya ‘mencakar muka’, karena terlalu banyak huruf o, diplesetkan jadi krocok
di muho.
Dari kejauhan aku
melihat Tugu yang puncaknya selalu menyemburkan api. Tugu ini merupakan nama
lain dari Tugu Obor atau Monumen Saraba Kawa. Saraba Kawa dalam bahasa Banjar
bermakna serba bisa. Kawa Baucap (mampu berkata), Kawa Manggawi
(mampu mengerjakan), dan Kawa Manyandang (mampu memikul). Api Abadi
menjadi metafora semangat pantang patah arang.
Seorang filsuf
Yunani kuno Heraklitos, memilih api sebagai simbol substansi kehidupan. Mite
Prometheus menggambarkan api sebagai yang menghidupkan kehidupan. Karakter api
adalah panas dan selalu bergerak bahkan ketika tampak diam. Karakter inilah
yang kerap digunakan untuk menyimbolkan sifat dari kehidupan yang sejatinya
selalu berada dalam gerakan. Kehangatan juga sering dijadikan indikator adanya
kehidupan, bahkan kehangatan hidup itu sendiri bisa merupa hasrat atau cinta.
Burung phoenix
(baca: finiks), burung api mistik, banyak diceritakan dalam mitologi di
beberapa negara besar dunia, seperti Mesir, Libanon, Yunani, Cina, sampai
Jepang. Aku ingat, sepeda jengki yang kumiliki dulu, sebagai hadiah sunatan,
bermerek Phoenix buatan RRC (Republik Rakyat Cina), yang di tempatku terkenal
dengan sepeda RRT (Republik Rakyat Tionghoa—peny.).
Phoenix sering dijadikan simbol dari
kebangkitan, keabadian, dan kelahiran kembali (rebirth). Ketika kita menghadapi
kemalangan, keterpurukan, kita butuh bangkit kembali untuk melanjutkan
kehidupan kita. Jika tidak, kita akan semakin memperparah kondisi kehidupan
kita. Kita akan terus menderita. Inilah nilai dari suatu kebangkitan yang
disimbolkan oleh phoenix.
Pertanyaan
keluarga sahabat yang membuatku tercengang adalah tentang pandangan dan
anggapanku tentang Kalimantan, yang dikiranya orang-orang sana masih
distereotypekan kanibal, dan uncivilized. Mungkin mereka tidak tau, kalau
sebenarnya aku gak jauh beda, sama katronya dengan mereka, mereka hanya tahu
kalau Jawa lebih maju, orang Jawa lebih beradab daripada suku pedalaman.
Rupa-rupanya, masa 32 tahun orde baru, sudah cukup untuk menancapkan
nilai-nilai dan hegemoni Jawa di tanah air ini.
Padahal, setiap
peradaban memiliki sisi gelapnya. Mungkin Rumi benar, Kalau burung gagak tahu
bahwa dirinya buruk, ia akan meleleh seperti salju karena sedih. Semoga
jawanisasi tidak menghancurkan mereka lebur sehingga bisa bangkit kembali. Tugu
Api Abadi di Tabalong setidaknya menjadi bukti simbolik semangat itu, semangat
zaman yang tak pernah lekang, semangat zaman baru (zetgeits).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar