Sabtu, 09 Mei 2015

Rahasia di Balik Eksotika Tana Toraja

Oleh Wiyanto Suud



Dalam bahasa Bugis, “Toraja” berarti “Orang yang berdiam di negeri atas”. Dan memang, mereka mendiami daerah pegunungan, dan mempertahankan gaya hidup yang khas, seperti gaya hidup Austronesia yang asli, mirip dengan budaya Nias. 

Jenazah nenek moyang mereka disemayamkan di atas tebing-tebing bukit yang curam. Sehingga tak mengherankan, kalau obyek wisata yang paling utama di daerah ini adalah makam kuno yang berusia ratusan tahun. Bahkan, beberapa situs di Toraja diusulkan menjadi situs warisan dunia. Sejak tahun 1984, Kementerian Pariwisata mempromosikan Tana Toraja sebagai pemberhentian kedua setelah Bali.  

Melancong ke Tana Toraja bak memasuki dua zaman, purba dan modern. Di tengah pertumbuhan teknologi yang sedemikian canggih, tradisi nenek moyang mereka masih tumbuh subur di tengah masyarakat. Meski mayoritas masyarakatnya memeluk agama Kristen, tapi mereka mampu memadukannya dengan kepercayaan animisme Aluk To Dalo.  

Meski bisa diakses dengan pesawat Cessna hanya dengan 45 menit dari Bali atau Makasar, perjalanan ke Tana Toraja akan lebih mengasyikkan kalau ditempuh dengan jalur darat. Hampir setiap jam, ada bus umum melintas dari Makasar ke Tana Toraja, dengan waktu tempuh sekitar 8 jam. Kalau ingin lebih nyaman, banyak tersedia mobil rental yang didominasi milik mantan wakil presiden Jusuf Kalla. 

Agak capek memang. Tapi, rasa capek itu akan terbayar dengan Pemandangan indah yang tersaji di sepanjang Pangkep, Barru, dan Pare Pare. Pemandangan yang memadukan antara keindahan pantai dan hutan tropis. Setelah sampai di Enrekang, Anda wajib istirahat di gunung Bambupuang atau Gunung Nona, yang dikenal dengan nama Erotic Mountain. Bentuknya menyerupai alat vital wanita, yang terbentuk karena erosi. 

Di samping itu, Anda juga bisa berwisata kuliner. Ada roti khas dari Maros, soup Saudara, coto Makasar, dan es pisang Hijau. Ketika beristirahat di Pare Pare, Anda bisa menyantap ikan bakar Baronang, lengkap dengan sambal petisnya. Di sepanjang jalan Sidrap dan Enrekang, Anda akan menemukan penjaja buah durian dan beraneka buah lainnya dengan harga miring. 

Ketika memasuki Toraja, aura mistis mulai terasa. Aura itu perlahan sirna saat memasuki Makale, pusat pemerintahan kabupaten Tana Toraja. Ciri khas Makale adalah kolam dan Patung Toraja Bersatu yang terletak di tengah kota. Di atas bukit seberang kolam, bertengger Masjid mungil dan gereja berdiri berdampingan. Simbol kerukunan antar umat beragama di Tana Toraja. Meski masakan di sana banyak didominasi babi, Anda akan dengan mudah menemukan restoran berlabel “halal”—khusus bagi kaum muslim. 

Rahasia eksotika Tana Toraja terletak pada pesona alam, makam kuno, dan budayanya. Pertama-tama, berziarahlah ke Londa, yang terletak di desa Sandan Uai, Sanggalangi, sekitar 5 km ke arah selatan dari Rantepao. Dari jalan raya tidak terlalu jauh, jalannya cukup bagus dan tidak terjal. Hanya jalannya sempit, jika berpapasan dengan kendaraan roda empat, salah satunya harus mengalah. 

Untuk sampai ke kuburan ini, Anda harus menuruni anak tangga sekitar 100 meter. Beberapa orang akan menawarkan jasa lampu sebagai penerang saat di dalam gua. Harga satu lampu Rp. 20 ribu, itu belum termasuk jasa pembawa lampu yang merangkap tour guide.  

Di atas tebing gua, ada puluhan replikasi patung orang yang meninggal dunia. Penduduk pribumi menyebutnya dengan tau-tau. Sedangkan peti jenazahnya berada di bagian dalam, di belakang tau-tau, terselip di celah tebing gua yang terjal. Seorang guide yang bersamaku menyebutnya dengan erong. Semakin tinggi peti matinya berarti semakin tinggi pula derajat kebangsawanannya. Bisa dikatakan, stratifikasi kasta pun terbawa sampai mati.  

Saat di dalam gua, banyak peti jenazah berserakan. Jenazah yang disemayamkan di gua bagian bawah ini merupakan golongan rakyat biasa. Peti jenazah dikumpulkan berdasarkan keluarga. Konon, jenazah yang berada di Londa ini berusia 500 tahunan. Ada juga sepasang tengkorak yang konon mati bunuh diri, karena percintaan mereka tidak mendapat restu orang tua. Ya, semacam Romeo dan Juliet versi Tana Toraja.  

Sebenarnya, ada dua mulut gua di Londa. Satu sama lainnya dihubungkan terowongan kecil, yang bisa dilalui dengan merangkak. Ketika ditawari untuk masuki terowongan, kami merasa bergidik. Nuansa mistisnya saja sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri, apalagi memasuki terowongan yang hanya bisa dilalui dengan merangkak. Kami pun memutar, masuk dari sisi lainnya.  

Kemudian, Anda bisa berkunjung ke Palawa dan Ke’te Kesu. Tongkonan Pallawa dan Ke’te Kesu sangat populer di Rantepao—ibu kota Kabupaten Toraja Utara. Rumah adat Tongkonan Pallawa ini berada di antara pohon-pohon bambu di puncak bukit. Tongkonan tersebut didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang ditancapkan di bagian depan rumah. Terletak sekitar 12 km ke arah Utara dari Rantepao. 

Sedangkan Ke’te Kesu merupakan obyek yang memesona berupa Tongkonan, lumbung padi, dan bangunan megalith di sekitarnya. Desa Ke’te Kesu terletak di kecamatan Kesu, sekitar 4 km di sebelah Timur Laut Rantepao. Perkampungan ini juga dikenal dengan keahlian seni ukir yang dimiliki oleh penduduknya, sekaligus sebagai tempat yang bagus untuk berbelanja suvenir.  

Ketiga tempat tersebut sudah cukup untuk mewakili pesona ekstotika Tana Toraja. Kalau masih punya cukup waktu, Anda juga bisa mengunjungi tempat-tempat lainnya. Di antaranya, Lokomata, Sa’dan, Marante, Mendoe, Buntao, Karasik, Buntu Pune, Palatokke, La’bo, Randanbatu, Batu Tumonga, Lemo, serta kawasan pegunungan di Utara. 

Ada beberapa suvenir yang ditawarkan, mulai dari kain tenun, parang dengan berbagai ukuran, replika rumah adat Tana Toraja (Tongkonan), dan gantungan kunci dengan beberapa ukiran khas Tana Toraja. Nyaris bisa ditemukan di tiap obyek kunjungan, dan tak jauh berbeda. 

Kain tenun Toraja dapat dikenali dari motif, warna, dan tekstur kainnya. Motif yang sering dibuat adalah motif garis-garis vertikal, burung, dan bunga. Sedangkan warna yang digunakan biasanya warna-warna gelap seperti hitam, cokelat, biru tua, dan merah. Tekstur kainnya ada yang halus dan ada juga yang agak kasar. 

Ketika berkunjung tahun 2005 lalu, aku sempat membeli kain kebaya lengkap dengan songketnya untuk ibu di rumah. Plus parang dengan berbagai ukuran, dari panjang setengah meter, 30 senti meter, 20 sentimeter, dan 10 sentimeter. Gagangnya terbuat dari tanduk kerbau yang berenda ukiran, yang khusus kupesan ke pandai besinya.  

Sampai saat ini, parang tersebut sering dipinjam tetangga untuk menyembelih hewan korban pada perayaan hari raya Idul Adha. Secara fungsional, tidak jauh berbeda dengan pemotongan kerbau waktu upacara pemakaman di Tana Toraja.

***

Upacara Pemakaman

Bagi suku Toraja, upacara pemakan itu lebih penting dan lebih meriah daripada upacara perkawinan. Kalau di Bali dikenal dengan istilah Ngaben, di Sumatera Utara disebut Sarimatua, di Tana Toraja ini ada upacara Rambu Solo’. Biasanya, upacara berlangsung selama beberapa hari, bahkan sampai dua Minggu untuk kalangan bangsawan. Ritual ini juga banyak menyedot perhatian wisatawan, baik domestik maupun manca negara.

Semakin berkuasa seseorang, semakin banyak pula kerbau yang disembelih. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi.
Sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di tempat tinggi. Tak jarang, jenazah disimpan selama bertahun-tahun di Tongkonan, sampai keluarga mampu menyiapkan hewan kurban. Bagi masyarakat Toraja, sebelum ada upacara Rambu Solo’, maka orang yang meninggal hanya dianggap sebagai orang sakit. Oleh karena itu, mereka merawat dan memperlakukannya layaknya masih hidup.

Dalam upacara Rambu Solo’, pertama-tama, jenazah dipindahkan dari rumah duka ke Tongkonan Tammuon, yaitu Tongkonan di mana ia berasal. Hari berikutnya, jenazah dipindahkan lagi ke Tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu Tongkonan Barebatu. Selanjutnya, jenazah diusung menuju Rante—lapangan tempat upacara berlangsung. Biasanya dilakukan setelah kebaktian dan makan siang.

Kemudian, jenazah diletakkan di Lakkien (menara persemayaman jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di Rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas Lakkien, sebelum nantinya akan dikubur.

Acara selanjutnya adalah penerimaan tamu. Ketika sore menjelang, para keluarga dan tamu undangan yang datang dihibur dengan ma’pasilaga tedong atau adu kerbau. Selama beberapa hari ke depan, penerimaan tamu dan adu kerbau menjadi agenda tetap, sampai tamu dan saudara dari pelosok negeri datang semua. Adu kerbau merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu selama upacara Rambu Solo’.

Di samping itu, upacara itu selalu diiringi dengan tari-tarian. Pada hari pertama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum. Tarian ini disebut dengan Ma’badong. Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.

Pada hari kedua, beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma’randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju Rante, tempat upacara pemakaman.

Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma’katia, sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma’akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma’dondan.

Melancong Menuju Tugu Api Abadi di Tabalong



Oleh Wiyanto Suud

Kalau burung gagak tahu bahwa dirinya buruk, ia akan meleleh seperti salju karena sedih (Jalaluddin Rumi) 
Libur catur wulan kedua (cawu II) di awal tahun 2002, membawaku ke pedalaman kampung halaman sahabatku. Perjalananku dari bukit pegunungan (Massenrenpulu) Enrekang Sulawesi Selatan, menuju Tugu Api Abadi di bumi Tabalong Kalimantan Selatan, setidaknya memakan waktu sehari semalam, 1 x 24 jam. 
Perjalanan melewati Polmas (Polewali Mamasa), Majene, Mamuju—yang sekarang menjadi Sulawesi Barat dalam pemekaran provinsi di era Pemerintahan Megawati—layaknya melalui jalur Pantura, mulai dari Semarang, Tuban, dan Lamongan di pulau Jawa. Kita akan disuguhi dengan pemandangan tepi pantai sepanjang kanan-kiri jalan. 
Dari Mamuju, aku harus menaiki kapal Ferry penyeberangan menuju Balikpapan—yang sebenarnya kapal angkutan barang tapi sekaligus dijadikan kapal penumpang—dasar Indonesia. Berlayar di tengah samudra di malam hari, seperti berjalan tak berujung tepi. Berada di tengah kegelapan, hanya ditemani lentera lampu bahtera dan deru suara ombak—berbenturan dengan tubuh kapal, seperti menghantam karang. Dua belas jam—dari jam 18.00 – 06.00—di tengah lautan sudah cukup mengajarkanku tentang arti sepi, makna cahaya, rasa bosan, dan harapan akan kegelapan. 
Dari Balikpapan aku naik speed boat selama 15 menit ke Panajem, di sinilah aku mulai menempuh jalur darat menuju Tabalong. Temanku asyik ngobrol dengan penumpang lain dalam bahasa Banjar, aku yang nggak ngerti hanya terdiam, tapi ketika ia memerkenankanku dari Jawa, dia mulai menggerutu. Aku tanya apa maksudnya, ternyata ada satu guyonan yang masyhur di Kalimantan tentang logat dan dialek Jawa yang kumiliki. Di Jawa kita banyak menemukan huruf o dalam percakapan dan penggunaan nama, seperti opo, lapo, Soekarno, Soeharto, dan Krocok di muho. Aku mengerutkan dahi dengan kata yang terakhir, apa maksudnya. Kata temanku, artinya ‘mencakar muka’, karena terlalu banyak huruf o, diplesetkan jadi krocok di muho. 
Dari kejauhan aku melihat Tugu yang puncaknya selalu menyemburkan api. Tugu ini merupakan nama lain dari Tugu Obor atau Monumen Saraba Kawa. Saraba Kawa dalam bahasa Banjar bermakna serba bisa. Kawa Baucap (mampu berkata), Kawa Manggawi (mampu mengerjakan), dan Kawa Manyandang (mampu memikul). Api Abadi menjadi metafora semangat pantang patah arang. 
Seorang filsuf Yunani kuno Heraklitos, memilih api sebagai simbol substansi kehidupan. Mite Prometheus menggambarkan api sebagai yang menghidupkan kehidupan. Karakter api adalah panas dan selalu bergerak bahkan ketika tampak diam. Karakter inilah yang kerap digunakan untuk menyimbolkan sifat dari kehidupan yang sejatinya selalu berada dalam gerakan. Kehangatan juga sering dijadikan indikator adanya kehidupan, bahkan kehangatan hidup itu sendiri bisa merupa hasrat atau cinta.

Burung phoenix (baca: finiks), burung api mistik, banyak diceritakan dalam mitologi di beberapa negara besar dunia, seperti Mesir, Libanon, Yunani, Cina, sampai Jepang. Aku ingat, sepeda jengki yang kumiliki dulu, sebagai hadiah sunatan, bermerek Phoenix buatan RRC (Republik Rakyat Cina), yang di tempatku terkenal dengan sepeda RRT (Republik Rakyat Tionghoa—peny.).
Phoenix sering dijadikan simbol dari kebangkitan, keabadian, dan kelahiran kembali (rebirth). Ketika kita menghadapi kemalangan, keterpurukan, kita butuh bangkit kembali untuk melanjutkan kehidupan kita. Jika tidak, kita akan semakin memperparah kondisi kehidupan kita. Kita akan terus menderita. Inilah nilai dari suatu kebangkitan yang disimbolkan oleh phoenix.
Pertanyaan keluarga sahabat yang membuatku tercengang adalah tentang pandangan dan anggapanku tentang Kalimantan, yang dikiranya orang-orang sana masih distereotypekan kanibal, dan uncivilized. Mungkin mereka tidak tau, kalau sebenarnya aku gak jauh beda, sama katronya dengan mereka, mereka hanya tahu kalau Jawa lebih maju, orang Jawa lebih beradab daripada suku pedalaman. Rupa-rupanya, masa 32 tahun orde baru, sudah cukup untuk menancapkan nilai-nilai dan hegemoni Jawa di tanah air ini. 
Padahal, setiap peradaban memiliki sisi gelapnya. Mungkin Rumi benar, Kalau burung gagak tahu bahwa dirinya buruk, ia akan meleleh seperti salju karena sedih. Semoga jawanisasi tidak menghancurkan mereka lebur sehingga bisa bangkit kembali. Tugu Api Abadi di Tabalong setidaknya menjadi bukti simbolik semangat itu, semangat zaman yang tak pernah lekang, semangat zaman baru (zetgeits).

Jumat, 08 Mei 2015

Budaya Malu







Tulisan ini dimuat di Majalah Gontor, Rubrik Mahfuzhat, edisi Oktober 2012

Oleh Wiyanto Suud
Alumni KMI Gontor 2000

Seseorang akan hidup dengan baik, selama memiliki rasa malu
Dan batang pohon akan tetap segar, selama ada kulitnya

Demi Allah, tiada kebaikan dalam hidup
Dan tiada arti dunia, bila malu telah sirna

Jika kau tidak takut dengan siksa akhirat
Dan tidak malu, maka perbuatlah sesukamu

—Abu Tamam (w 231 H)

Selama ini, mungkin kita sering mendengar atau mengelu-elukan kalau Indonesia ini negeri yang sangat subur, negeri yang sangat kaya akan SDA, bahkan tongkat ditancapkan saja tumbuh menjadi tanaman. Cak Nun sering mengatakan bahwa seolah-olah surga itu bocor dan turun ke dunia menjadi sepenggal tanah bernama Indonesia.
Karena itu, kita sering mengukur kemajuan atau kesuksesan—baik itu individu, organisasi, maupun bangsa—dengan pendekatan pada sumber daya, tapi menjauhkan dari budaya hidup positif dalam kehidupan sehari-hari. Kekayaan yang melimpah ruah pun menjadi tidak ada artinya karena mental SDM kurang mumpuni. Contoh yang paling sederhana adalah hilangnya budaya malu.
Bisa dibayangkan, jika rasa malu itu telah hilang dalam diri seseorang, segala perilakunya makin sulit dikendalikan. Dia akan melakukan berbagai perbuatan tak terpuji, seperti korupsi, menyontek, menipu, dan lain sebagainya. Hilangnya rasa malu merupakan awal datangnya bencana bagi diri orang yang bersangkutan dan orang lain di sekitarnya.
Jika mau menggali, sebenarnya kita memiliki tradisi rasa malu yang mengakar di tengah masyarakat. Adat Minangkabau mengatakan “Raso jo pareso”. Artinya, rasa malu orang Minangkabau harus tinggi. Dari rasa malu, timbul sikap sopan. Kalau orang Minangkabau tidak lagi memiliki rasa malu, maka hilanglah keminangannya.
Kita juga mengenal budaya “Siri' na pacce” yang menjadi salah satu falsafah budaya masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis, siri' mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban. Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia. Siri' adalah sesuatu yang “tabu” bagi masyarakat Bugis dalam berinteraksi dengan orang lain.
Dalam sebuah mahfuzhat, Abu Tamam membuat perumpamaan seseorang yang tidak memiliki rasa malu itu seperti pohon yang tidak memiliki kulit. Selain sebagai media melakukan fotosintesis, kulit pohon merupakan pelindung batang kayu di dalamnya. Selama masih ada kulitnya, maka pohon itu akan tetap segar dan subur.
Makna kiasnya, seseorang yang tidak memiliki rasa malu sama halnya dia tidak memakai baju. Peradaban mana pun, pasti tidak membenarkan seseorang yang tidak memakai baju berkeliaran di mana-mana. Justru mereka yang memakai baju serba minim, cenderung diidentikkan dengan suku-suku primitif di pedalaman. Jadi, baju adalah simbol peradaban.
Abu Tamam juga mengingatkan:
Jika kau tidak takut dengan siksa akhirat
Dan tidak malu, maka perbuatlah sesukamu
Setidaknya, ada tiga makna yang terkandung dalam bait ini. Pertama, pembolehan. Artinya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihat dan perhatikan. Jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah SWT dan manusia, maka lakukanlah. Sebaliknya, jika tidak, maka tinggalkanlah.
Kedua, penjelasan. Artinya, orang yang tidak memiliki rasa malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi oleh orang-orang yang mempunyai rasa malu. Karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu.
Ketiga, peringatan dan ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu—baik di dunia maupun di akhirat.
Jadi, malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak untuk menghias diri dengan akhlak mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina. Malu adalah kebaikan seluruhnya. Karena itu, Abu Tamim mengatakan, Demi Allah, tiada kebaikan dalam hidup. Dan tiada arti dunia, bila malu telah sirna.

Jumat, 01 Mei 2015

LKS Bahasa Inggris Program Peminatan (SMA Kelas X)



Sabar sebagai Penolong

Tulisan ini Dimuat di Majalah Gontor Edisi November 2014





Oleh Wiyanto Suud
Alumni KMI Gontor 2000


اِصْبِرْ عَلَي مَضَضِ الْحَسُوْدِ # فَإِنَّ صَبْرَكَ قَاتِلُهُ
النَّارُ تَأْكُلُ نَفْسَهَا # إِنْ لَمْ تَجِدْ مَا تَأْكُلُهُ

Bersabarlah atas perlakuan pendengki
Sungguh, kesabaranmu akan memadamkan kedengkian itu

Ketahuilah, api itu akan melahap dirinya,
kalau tak menemukan sesuatu yang bisa dilahapnya

Secara bahasa, sabar berarti menahan (al-habsu). Makna ini sama dengan makna kata imsak, namun cakupannya lebih luas: berkaitan dengan fisik dan psikis, jasmani dan rohani. Jasmani berkaitan dengan kelaparan, kekurangan harta dan buah-buahan, sedangkan rohani berkaitan dengan kekurangan jiwa atau penyakit hati (QS. al-Baqarah [2]: 155).
Dalam al-Qu’ran, kata sabar didefinisikan dengan kata-kata yang sangat sederhana, sabar itu lebih baik bagi kamu (QS. an- Nahl [16]: 126). Kenapa sabar itu lebih baik? Karena menghindarkan dari perbuatan yang sia-sia. Misalnya, fenomena tawuran di kalangan pelajar. Tawuran ini biasanya dipicu oleh hal-hal yang sepele.
Padahal kalau kita menahan diri dan bersabar, kita bisa terhindar dari perbuatan sia-sia itu. Dalam khazanah peribahasa Indonesia disebut, “Yang menang jadi arang yang kalah jadi abu.” Artinya, kedua belah pihak tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari tawuran tersebut.
Karena itu, Islam memerintahkan untuk meminta pertolongan kepada sabar. “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. al-Baqarah [2]: 45)
Menurut Ibnu Jarir, redaksi ayat ini untuk memperingatkan Bani Israel, namun yang dimaksud bukan mereka semata, berlaku umum untuk umat manusia, khususnya kaum muslimin. Menurut Ibnul-Mubarak, sabar adalah pengakuan hamba atas apa yang menimpanya, dan mengharapkan ridha Allah semata. Ia bertahan dengan gigih dengan menguatkan diri, dan tidak terlihat darinya kecuali kesabaran.
Dengan demikian, tidak ada orang yang bisa disebut sabar, jika sikapnya menolak atau mengelak berdiri bersama permasalahan yang tidak mengenakkan di hati. Orang yang sabar selalu memancarkan kehangatan bagi orang lain karena ia senantiasa pasrah kepada Allah dalam kondisi apa pun.
Ali bin Abi Thalib mengumpamakan keutamaan sabar bagi keimanan seseorang itu bagaikan tubuh, dan sabar adalah kepalanya. Ia mengatakan, “Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Baihaqi)
Meski secara sanad atsar ini dinilai lemah, namun secara makna bisa diterima. Karena cakupan sabar yang demikian luas: sabar dalam menaati perintah Allah (shabru ala tha’ah), sabar dari hal-hal yang dilarang atau haramkan Allah (shabru ‘an maksiah), dan sabar terhadap takdir Allah—baik dan buruknya (shabru ala musibah).
Pertanyaannya, kenapa kita minta tolong pada perbuatan? Biasanya kalau kita minta tolong kepada orang, bukan ke perbuatan? Kalau memang bisa menjadi penolong, kapan kesabaran itu menjadi penolong bagi kita?
Dalam mahfuzhat di atas mengajarkan kepada kita cara untuk menghadapi para pendengki, yakni dengan bersabar. Karena kesabaran itulah yang secara otomatis memutus tali jaring-jaring kedengkian. Kesabaran itu diperumpamakan seperti api, kalau tidak ada yang dibakar, secara otomatis api itu akan padam degan sendirinya.
Dalam bahasa al-Qur’an, dengki ini didefinisikan: susah dengan kebahagiaan orang lain, dan senang dengan kesedihan orang lain. Sederhananya, menari-nari di atas penderitaan orang lain. “Jika kamu memperoleh kebaikan, mereka bersedih hati. Tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 120)
Dalam al-Qur’an ada istilah sabar yang baik, “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik” (QS. al-Ma’aarij [70]: 5). Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berlatih untuk bersabar, yakni komitmen sebagai seorang hamba untuk selalu mengikuti apa yang diperintahkan Allah SWT. Inilah yang disebut sabar ma'allah, tingkatan sabar yang paling tinggi dan paling sulit. Dan Allah selalu bersama dengan orang-orang yang sabar (QS. al-Baqarah [2]: 153).

Manusia Seperti Bintang

Tulisan ini Dimuat di Majalah Gontor Edisi April 2014





Oleh Wiyanto Suud

Alumni KMI Gontor 2000



تَوَاضَعْ تَكُنْ كَالنَّجْمِ لَاحَ لِنَاظِرٍ  # عَلَي صَفَحَاتِ الْمَاءِ وَ هُوَ رَفِيْعٌ

وَ لَا تَكُنْ كَالدُّخَانِ يَعْلُو بنفسه #  إِلَى طَبَقَاتِ الْجَوِّ وَهُوَ وَضِيْعٌ




Rendah hatilah! Jadilah seperti bintang!

Terlihat rendah di atas permukaan air, tetapi sejatinya tinggi.
 

Jangan seperti asap yang terbang meninggi ke langit,

namun kemudian hilang tak berbekas.



Secara sederhana, rendah hati (tawadhu’) dapat diartikan sebagai sikap tidak merasa lebih dibandingkan orang lain. Hasan al-Bashri pernah berkata, “Tahukah kalian apa itu rendah hati? Rendah hati adalah engkau keluar dari rumahmu, tidaklah bertemu dengan seorang muslim, melainkan engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

Sikap rendah hati ini sangat diperlukan bagi siapa saja yang ingin menjaga setiap tindak-tanduk dan perilakunya agar tetap ikhlas hanya untuk Allah SWT. Karena memang tidak mudah menjaga keikhlasan dalam beramal, apalagi ketika pujian dan ketenaran mulai datang menghampiri kita.

Untuk itu, kita harus tahu tanda-tanda kerendah-hatian. Setidaknya ada empat tanda tawadhu’. Pertama, tunduk dan patuh kepada kebenaran. Kedua, menghormati orang lain dan menghargai kedudukannya. Ketiga, sederhana dalam hidup, suka membantu, dan tidak terlalu lepas kendali. Keempat, lemah lembut terhadap sesama.

Dalam sebuah bait mahfuzhat disebutkan, perumpamaan orang yang memiliki sikap rendah hati itu seperti bintang yang terlihat di atas permukaan air, padahal sejatinya tinggi. Selain matahari, benda langit yang terdiri atas gas menyala itu biasanya tampak pada malam hari berkelipan di angkasa.

Bintang-bintang ini menjadi sumber cahaya dan sumber kehidupan. Makna kiasnya, cahaya adalah simbol pencerahan dan kesadaran bagi umat manusia. Artinya, orang yang memiliki sifat rendah hati menjadi simbol sekaligus sumber pencerahan dan kesadaran bagi orang lain.

Dalam kitab Daqaiqul Akhbar disebutkan, makhluk pertama yang diciptakan Allah SWT adalah nur (cahaya) Muhammad. Dari situlah kemudian tercipta alam semesta dan isinya. Di dunia barat dikenal dengan teori big bang. Bahkan, satuan untuk mengukur jarak antarplanet dan antargalaksi pun menggunakan satuan cahaya. Karena sampai saat ini belum ada kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya.

Coba Anda bayangkan ketika malam hari tiba, langit cerah dan dipenuhi bintang-bintang. Ketika itu, Anda duduk di tepi danau yang tenang. Anda bisa menyaksikan keindahan langit tercermin di atas permukaan air danau. Ia tampak memesona seolah dekat di pelupuk mata. Padahal, ia berjarak jutaan tahun cahaya.

Lawan dari rendah hati adalah sombong (takabbur). Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim). Dalam mahfuzhat, orang yang sombong ini diperumpamakan seperti asap yang terbang meninggi ke langit, kemudian hilang tak berbekas, sirna sia-sia.

Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin mengutip perkataan Abu Ali Ahmad bin Ashim al-Anthaki atau lebih dikenal dengan Ahmad al-Anthaki, “Sikap rendah hati (tawadhu’) yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dalam dirimu dan dapat memadamkan api amarahmu.”

Yang dimaksud amarah di sini adalah merasa berhak mendapatkan lebih dari semestinya diperoleh atau merasa berjasa sehingga membuatnya membanggakan diri. Karena itu, tepat kiranya prinsip yang diajarkan Pondok Modern Gontor, “Berjasalah, tapi jangan minta jasa.”

Selama ini mungkin kita sering mendengar tentang filosofi padi, semakin berisi semakin merunduk rendah hati. Sebaliknya, kita sering mendengar ungkapan, “Air beriak tanda tak dalam.” Artinya, orang yang banyak omong dan sombong, biasanya memiliki kadar keilmuan yang tidak mendalam.

Jadi, rendah hati merupakan sikap yang menunjukkan kematangan ilmu dan pengalaman hidup. Namun bukan berarti orang yang tidak berilmu tidak bisa bersikap rendah hati, karena rendah hati adalah kunci untuk membuka pintu-pintu kebaikan lainnya. Bisa dibilang, rendah hati adalah mahkota kemanusiaan.

Berdasarkan mahfuzhat di atas, kita bisa menggunakan istilah manusia bintang dan manusia asap. Semoga kita termasuk manusia bintang (manusia yang memiliki sikap kerendah-hatian), bukan manusia asap (orang yang memiliki sikap kesombongan). Urwah bin al-Warid berkata, “Rendah hati adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri, kecuali sikap rendah hati.” Wallahu a’lam.