Dalam bahasa Bugis, “Toraja” berarti “Orang
yang berdiam di negeri atas”. Dan memang, mereka mendiami daerah pegunungan,
dan mempertahankan gaya hidup yang khas, seperti gaya hidup Austronesia yang
asli, mirip dengan budaya Nias.
Jenazah nenek moyang mereka disemayamkan di atas
tebing-tebing bukit yang curam. Sehingga tak mengherankan, kalau obyek wisata
yang paling utama di daerah ini adalah makam kuno yang berusia ratusan tahun.
Bahkan, beberapa situs di Toraja diusulkan menjadi situs warisan dunia. Sejak tahun 1984,
Kementerian Pariwisata mempromosikan Tana Toraja sebagai pemberhentian kedua
setelah Bali.
Melancong ke Tana Toraja bak memasuki dua zaman, purba
dan modern. Di tengah pertumbuhan teknologi yang sedemikian canggih, tradisi
nenek moyang mereka masih tumbuh subur di tengah masyarakat. Meski mayoritas
masyarakatnya memeluk agama Kristen, tapi mereka mampu memadukannya dengan
kepercayaan animisme Aluk To Dalo.
Meski bisa diakses dengan pesawat Cessna hanya dengan 45
menit dari Bali atau Makasar, perjalanan ke Tana Toraja akan lebih mengasyikkan
kalau ditempuh dengan jalur darat. Hampir setiap jam, ada bus umum melintas
dari Makasar ke Tana Toraja, dengan waktu tempuh sekitar 8 jam. Kalau ingin
lebih nyaman, banyak tersedia mobil rental yang didominasi milik mantan wakil
presiden Jusuf Kalla.
Agak capek memang. Tapi, rasa capek itu akan terbayar
dengan Pemandangan indah yang tersaji di sepanjang Pangkep, Barru, dan Pare
Pare. Pemandangan yang memadukan antara keindahan pantai dan hutan tropis.
Setelah sampai di Enrekang, Anda wajib istirahat di gunung Bambupuang atau Gunung Nona, yang dikenal
dengan nama Erotic Mountain.
Bentuknya menyerupai alat vital wanita, yang terbentuk karena erosi.
Di
samping itu, Anda juga bisa berwisata kuliner. Ada roti khas dari Maros, soup
Saudara, coto Makasar, dan es pisang Hijau. Ketika beristirahat di Pare Pare,
Anda bisa menyantap ikan bakar Baronang, lengkap dengan sambal petisnya. Di
sepanjang jalan Sidrap dan Enrekang, Anda akan menemukan penjaja buah durian
dan beraneka buah lainnya dengan harga miring.
Ketika
memasuki Toraja, aura mistis mulai terasa. Aura itu perlahan sirna saat
memasuki Makale, pusat pemerintahan kabupaten Tana Toraja. Ciri khas Makale
adalah kolam dan Patung Toraja Bersatu yang terletak di tengah kota. Di atas
bukit seberang kolam, bertengger Masjid mungil dan gereja berdiri berdampingan.
Simbol kerukunan antar umat beragama di Tana Toraja. Meski masakan di sana
banyak didominasi babi, Anda akan dengan mudah menemukan restoran berlabel
“halal”—khusus bagi kaum muslim.
Rahasia
eksotika Tana Toraja terletak pada pesona alam, makam kuno, dan budayanya.
Pertama-tama, berziarahlah ke Londa, yang terletak di desa Sandan Uai,
Sanggalangi, sekitar 5 km ke arah selatan dari Rantepao. Dari jalan raya tidak
terlalu jauh, jalannya cukup bagus dan tidak terjal. Hanya jalannya sempit,
jika berpapasan dengan kendaraan roda empat, salah satunya harus mengalah.
Untuk
sampai ke kuburan ini, Anda harus menuruni anak tangga sekitar 100 meter.
Beberapa orang akan menawarkan jasa lampu sebagai penerang saat di dalam gua.
Harga satu lampu Rp. 20 ribu, itu belum termasuk jasa pembawa lampu yang
merangkap tour guide.
Di atas tebing gua,
ada puluhan replikasi patung orang yang meninggal dunia. Penduduk pribumi
menyebutnya dengan tau-tau.
Sedangkan peti jenazahnya berada di bagian dalam, di belakang tau-tau, terselip
di celah tebing gua yang terjal. Seorang guide yang bersamaku menyebutnya dengan erong. Semakin
tinggi peti matinya berarti semakin tinggi pula derajat kebangsawanannya. Bisa
dikatakan, stratifikasi kasta pun terbawa sampai mati.
Saat
di dalam gua, banyak peti jenazah berserakan. Jenazah yang disemayamkan di gua
bagian bawah ini merupakan golongan rakyat biasa. Peti jenazah dikumpulkan
berdasarkan keluarga. Konon, jenazah yang berada di Londa ini berusia 500
tahunan. Ada juga sepasang tengkorak yang konon mati bunuh diri, karena
percintaan mereka tidak mendapat restu orang tua. Ya, semacam Romeo dan Juliet
versi Tana Toraja.
Sebenarnya,
ada dua mulut gua di Londa. Satu sama lainnya dihubungkan terowongan kecil,
yang bisa dilalui dengan merangkak. Ketika ditawari untuk masuki terowongan,
kami merasa bergidik. Nuansa mistisnya saja sudah cukup membuat bulu kuduk
berdiri, apalagi memasuki terowongan yang hanya bisa dilalui dengan merangkak.
Kami pun memutar, masuk dari sisi lainnya.
Kemudian,
Anda bisa berkunjung ke Palawa dan Ke’te Kesu. Tongkonan Pallawa dan Ke’te Kesu
sangat populer di Rantepao—ibu kota Kabupaten Toraja Utara. Rumah adat
Tongkonan Pallawa ini berada di antara pohon-pohon bambu di puncak bukit.
Tongkonan tersebut didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang ditancapkan di
bagian depan rumah. Terletak sekitar 12 km ke arah Utara dari Rantepao.
Sedangkan
Ke’te Kesu merupakan obyek yang memesona berupa Tongkonan, lumbung padi, dan
bangunan megalith di
sekitarnya. Desa Ke’te Kesu terletak di kecamatan Kesu, sekitar 4 km di sebelah
Timur Laut Rantepao. Perkampungan ini juga dikenal dengan keahlian seni ukir
yang dimiliki oleh penduduknya, sekaligus sebagai tempat yang bagus untuk
berbelanja suvenir.
Ketiga
tempat tersebut sudah cukup untuk mewakili pesona ekstotika Tana Toraja. Kalau
masih punya cukup waktu, Anda juga bisa mengunjungi tempat-tempat lainnya. Di
antaranya, Lokomata, Sa’dan, Marante, Mendoe, Buntao, Karasik, Buntu Pune,
Palatokke, La’bo, Randanbatu, Batu Tumonga, Lemo, serta
kawasan pegunungan di Utara.
Ada
beberapa suvenir yang ditawarkan, mulai dari kain tenun, parang dengan berbagai
ukuran, replika rumah adat Tana Toraja (Tongkonan), dan gantungan kunci dengan
beberapa ukiran khas Tana Toraja. Nyaris bisa ditemukan di tiap obyek
kunjungan, dan tak jauh berbeda.
Kain
tenun Toraja dapat dikenali dari motif, warna, dan tekstur kainnya. Motif yang
sering dibuat adalah motif garis-garis vertikal, burung, dan bunga. Sedangkan
warna yang digunakan biasanya warna-warna gelap seperti hitam, cokelat, biru
tua, dan merah. Tekstur kainnya ada yang halus dan ada juga yang agak kasar.
Ketika
berkunjung tahun 2005 lalu, aku sempat membeli kain kebaya lengkap dengan
songketnya untuk ibu di rumah. Plus parang dengan berbagai ukuran, dari panjang
setengah meter, 30 senti meter, 20 sentimeter, dan 10 sentimeter. Gagangnya
terbuat dari tanduk kerbau yang berenda ukiran, yang khusus kupesan ke pandai
besinya.
Sampai
saat ini, parang tersebut sering dipinjam tetangga untuk menyembelih hewan
korban pada perayaan hari raya Idul Adha. Secara fungsional, tidak jauh berbeda
dengan pemotongan kerbau waktu upacara pemakaman di Tana Toraja.
***
Upacara Pemakaman
Bagi
suku Toraja, upacara pemakan itu lebih penting dan lebih meriah daripada
upacara perkawinan. Kalau di Bali dikenal dengan istilah Ngaben, di Sumatera Utara disebut Sarimatua, di Tana Toraja ini ada
upacara Rambu Solo’.
Biasanya, upacara berlangsung selama beberapa hari, bahkan sampai dua Minggu
untuk kalangan bangsawan. Ritual ini juga banyak menyedot perhatian wisatawan,
baik domestik maupun manca negara.
Semakin
berkuasa seseorang, semakin banyak pula kerbau yang disembelih. Untuk keluarga
bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau.
Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah
dengan 50 ekor babi.
Sebelum
jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di tempat
tinggi. Tak jarang, jenazah disimpan selama bertahun-tahun di Tongkonan, sampai
keluarga mampu menyiapkan hewan kurban. Bagi masyarakat Toraja, sebelum ada upacara Rambu Solo’, maka orang yang meninggal
hanya dianggap sebagai orang sakit. Oleh karena itu, mereka merawat dan
memperlakukannya layaknya masih hidup.
Dalam
upacara Rambu Solo’, pertama-tama,
jenazah dipindahkan dari rumah duka ke Tongkonan
Tammuon, yaitu Tongkonan di
mana ia berasal. Hari berikutnya, jenazah dipindahkan lagi ke Tongkonan yang
berada agak ke atas lagi, yaitu Tongkonan
Barebatu. Selanjutnya,
jenazah diusung menuju Rante—lapangan
tempat upacara berlangsung. Biasanya dilakukan setelah kebaktian dan makan
siang.
Kemudian,
jenazah diletakkan di Lakkien
(menara persemayaman jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan
bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di Rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk
rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas Lakkien, sebelum nantinya akan dikubur.
Acara
selanjutnya adalah penerimaan tamu. Ketika sore menjelang, para keluarga dan
tamu undangan yang datang dihibur dengan ma’pasilaga
tedong atau adu kerbau. Selama beberapa hari ke depan, penerimaan
tamu dan adu kerbau menjadi agenda tetap, sampai tamu dan saudara dari pelosok
negeri datang semua. Adu kerbau merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu
selama upacara Rambu Solo’.
Di
samping itu, upacara itu selalu diiringi dengan tari-tarian. Pada hari pertama,
sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk
menghormati almarhum. Tarian ini disebut dengan Ma’badong. Ritual tersebut dianggap sebagai komponen
terpenting dalam upacara pemakaman.
Pada
hari kedua, beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar
dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma’randing mengawali prosesi ketika
jenazah dibawa dari lumbung padi menuju Rante,
tempat upacara pemakaman.
Selama
upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma’katia, sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju
berbulu. Tarian Ma’akatia
bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan
almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan
perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma’dondan.